Sabtu, 30 Oktober 2010

Digilir Bapak-Bapak


Demam piala dunia sudah berlalu, namun aku memiliki sebuah cerita dewasa yang tidak begitu saja aku bisa lupakan. Kuakui memang diriku ini adalah cewek binal, yang selalu merindukan dekapan para pria disetiap hasrat seksku yang lagi tinggi.

Seperti biasa, hari itu aku pulang dari kantor tepat jam 5 sore. Setibanya di rumah, aku langsung menuju kamar tidurku lalu bersiap-siap untuk mandi kemudian makan malam.
Setelah selesai makan, Winnie, adik perempuanku mengingatkan bahwa Brazil, salah satu tim sepakbola favoritku, akan bertanding melawan Portugal pada pukul 9 malam nanti.
“Masih lama nih bola-nya. Luluran dulu ah…” kataku dalam hati sambil menuju kamar tidur.
Sebenarnya dulu aku bukanlah gadis yang terlalu memperhatikan perawatan tubuh. Namun karena tuntutan dari pacarku, saat ini aku mulai lebih sering merawat tubuh. Dari mulai menyabuninya dengan sabun khusus, luluran dan lain-lain. Sekarang aku sudah bisa menuai hasil kerja kerasku merawat tubuh. Kini aku mempunyai kulit yang lebih putih dan halus.

Setelah sekitar 1 jam aku luluran, terdengar teriakan Winnie dari ruang TV “Teh! bolanya udah mau maen nih!!”
Kemudian aku memutuskan untuk segera keluar dari kamar tidur dan menuju ruang TV. Aku sempat bingung karena di ruang TV aku hanya melihat Winnie saja.
“Nie, Ayah nggak ada di rumah ya?” tanyaku.
“Ada di kamar kok Teh…” jawabnya singkat.
“Kok tumben sih? Biasanya si Ayah nggak mau ketinggalan kalo lagi ada siaran Piala Dunia…” tanyaku lagi.
“Gak tau tuh. Ngantuk kali!” jawab Winnie cuek sambil tetap memperhatikan layar TV.
Tak lama setelah aku duduk di sofa ruang TV, pertandingan pun dimulai. Sebenarnya aku bukanlah penggemar fanatik sepakbola seperti Ayah dan Winnie. Aku hanya mengikuti pertandingan beberapa tim saja, seperti Brazil, Argentina dan juga Spanyol.
“Sayang banget Kaka nggak bisa main…” aku mengeluh karena pemain idolaku tidak dapat bermain karena terkena hukuman kartu merah pada pertandingan sebelumnya.
Tanpa terasa, babak pertama yang menegangkan berakhir sudah. Mungkin karena tadi aku terlalu bersemangat dalam memberi dukungan kepada Brazil, aku merasa bahwa udara di dalam rumah menjadi sangat gerah. Akhirnya sambil menunggu babak kedua dimulai aku memutuskan untuk keluar rumah.
“Nie, Teteh keluar dulu yah…” kataku kepada Winnie.
“Iya Teh. Tapi jangan lama-lama yah. Entar keburu mulai bolanya…” kata Winnie mengingatkan.
“Iya. Sebentar aja kok. Abis gerah banget nih…” jawabku sambil mengikat rambutku.
Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumahku saja. Malam itu aku memakai baju yang tipis dan ketat berwarna abu-abu serta celana pendek warna coklat. Karena tadinya aku tidak berniat untuk keluar rumah, maka aku sengaja tidak memakai bra. Aku sempat memperhatikan putingku tercetak cukup jelas di bajuku ini, tapi aku cuek saja karena aku pikir hanya keluar sebentar dan tidak akan jauh-jauh dari rumah. Setelah menutup pintu depan dan gerbang, aku pun mulai berkeliling di daerah sekitar rumahku.
“Kok tumben ya sepi banget? Pasti karena lagi ada bola deh…” pikirku karena tidak biasanya di daerah rumahku yang masih terhitung daerah ‘perkampungan’ sudah terlihat sepi pada pukul 10 malam.
Tanpa terasa cukup jauh juga aku berjalan dari rumahku hingga akhirnya aku sampai di sebuah pos jaga. Dari kejauhan aku dapat melihat ada 4 orang Bapak-Bapak di dalam pos jaga tersebut. Karena penasaran, aku kemudian berjalan mendekati pos jaga yang hanya diterangi oleh pencahayaan seadanya. Ukurannya juga memang tidak terlalu besar, namun dapat untuk menampung hingga 5-6 orang dewasa.
‘Tok… Tok… Tok…’ aku mengetuk tiang pos jaga tersebut dengan cukup kencang supaya Bapak-Bapak itu dapat mendengar ketukanku.
“Permisi Bapak-Bapak…” kataku sopan sambil berdiri di depan pintu.
“Eeh, ada Dik Tita…” jawab seorang Bapak yang posisi duduknya paling dekat pintu.
Akhirnya aku dapat mengenali siapa saja yang sedang berada di pos jaga tersebut. Bapak yang duduk paling ujung bernama Pak Wawan, orangnya botak dan gendut tapi terkenal dengan keramahannya. Di sebelahnya bernama Pak Diman, berbadan besar, berkulit hitam serta wajahnya menurutku sangat jelek apalagi kepalanya ditumbuhi dengan rambut penuh uban. Lalu ada Pak Jono, berkulit hitam dan memiliki badan paling kurus dibandingkan dengan yang lainnya. Dan yang terakhir, bernama Pak Bara, kumisnya yang tebal menambah kegarangan wajahnya yang sangar dan penuh luka. Aku maklum saja, karena dulu Pak Bara adalah preman di daerah sini. Mereka semua adalah tetanggaku yang kutaksir usianya kira-kira sama dengan ayahku.
“Dik Tita ngapain malem-malem keluar rumah?” sapa Pak Wawan.
“Jalan-jalan aja Pak. Abis gerah banget di rumah…” aku mengatakan hal tersebut sambil mengibas-ngibaskan leher bajuku.
“Emangnya Dik Tita nggak takut keluar rumah malem-malem gini?” tanya Pak Bara.
“Kan ada Bapak-Bapak. Jadi saya bisa tenang deh…” jawabku sambil tersenyum.
Sekilas aku melihat ke 4 Bapak itu memandangi puting payudaraku yang semakin tercetak jelas di baju ketatku akibat keringat yang membasahi tubuh bagian depanku. Mungkin karena takut aku menyadarinya, mereka semua langsung mengalihkan pandangan mereka ke arah TV yang sudah menayangkan pertandingan babak kedua.
“Oh iya Bapak-Bapak. Saya boleh ikutan nonton bola bareng-bareng nggak?” tanyaku.
“Emangnya Dik Tita suka bola juga ya?” tanya Pak Diman.
“Lumayan suka nonton juga sih. Apalagi pas Piala Dunia kayak sekarang…” jelasku kepada Pak Diman.
“Oh Gitu? Ya udah nonton bareng-bareng aja sama kita di sini. Saya mah seneng banget kalo Dik Tita mau nemenin kita-kita nonton bola. Betul kan Bapak-Bapak?” balas Pak Wawan dengan tersenyum lebar sehingga menunjukkan giginya yang tak terawat.
“Betul!!” Jawab Bapak-Bapak yang lain dengan serempak.
Aku hanya bisa tersenyum menahan geli mendengar jawaban dari Bapak-Bapak ini. Karena merasa akan lebih seru menonton pertandingan dengan mereka, tanpa pikir panjang lagi aku pun masuk ke dalam pos jaga lalu mengambil posisi duduk di atas tikar tepat di tengah-tengah mereka.
Karena takut adik perempuanku kuatir, maka aku mengabarkan lewat SMS bahwa aku sedang menonton bola di rumah tetanggaku. Aku juga mengingatkannya agar tidak mengunci gerbang dan pintu depan apabila aku pulang agak malam. Setelah yakin SMS-ku sudah terkirim, aku pun menonton bola bersama Bapak-Bapak tersebut sambil makan kacang tanpa memikirkan bahwa kacang dapat menumbuhkan jerawat pada kulit wajahku yang mulus.
Di saat sedang menonton bola, aku merasa mereka tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah paha putih mulusku dan juga ke bagian payudara yang seolah-olah mengalahkan daya tarik pertandingan Brazil melawan Portugal. Mereka menatapnya dengan tidak berkedip. Aku yakin saat ini mereka semua pasti mulai terangsang dan ingin sekali dapat menikmati tubuhku.
Entah kenapa saat itu sempat terlintas di pikiranku untuk menggoda Bapak-Bapak tersebut. Mungkin karena selama ini aku belum pernah sekalipun melakukan persetubuhan dengan orang yang lebih dewasa. Aku pun berpura-pura mengantuk lalu menyenderkan badanku pada dinding pos jaga. Aku menutup mata supaya Bapak-Bapak itu dapat merasa lebih leluasa untuk menggerayangiku apabila aku sedang tertidur lelap.
Seperti dugaanku, setelah aku pura-pura tertidur pulas, aku merasakan tanganku diangkat ke atas oleh salah seorang dari mereka, lalu orang tersebut memegangi pergelangan tanganku dengan cukup kencang.
“Umpanku udah mulai mengena nih…” kataku dalam hati.
“Eh, tutup dulu pintunya biar aman…” walaupun mataku tertutup, aku dapat mengetahui bahwa suara tadi adalah milik Pak Wawan.
Tak lama setelah aku mendengar suara pintu pos jaga ditutup, aku merasakan ada sebuah tangan mulai meraba-raba pahaku yang kemudian disusul oleh sebuah tangan yang besar dan kasar menyusup masuk ke dalam bajuku lalu meremas-remas kedua buah payudara milikku sekaligus memainkan putingnya. Mungkin karena melihat aku tetap tertidur, perlahan-lahan tangan yang tadinya meraba-raba pahaku mulai merambat ke atas hingga sampai ke payudaraku. Aku bahkan dapat mendengar suara nafas mereka yang semakin memburu. Tampaknya mereka sudah terbakar nafsu. Aku sendiri berusaha keras meredam gairahku yang mulai naik.
“Eeeeeennggh…” aku akhirnya mengeluarkan desahan lembut menggoda ketika merasakan dua buah tangan secara bersamaan memilin puting payudaraku.
Sementara itu aku merasakan ada yang sepasang tangan lain yang menarik celana pendek dan juga celana dalamku.
“Memeknya Dik Tita bagus banget. Nggak ada jembutnya…” terdengar suara berbisik di bawah sana.
Tiba tiba perasaanku seperti tersengat ketika dengan perlahan jari-jari tangan tersebut menyentuh dan menekan-nekan vaginaku yang sudah tidak tertutup apapun. Jari-jari tadi mulai merayap masuk dan menyentuh dinding kewanitaanku. Lalu aku merasakan benda tumpul dan basah, yang kuduga itu adalah sebuah lidah, mulai menyentuh bagian dalam vaginaku.
Saat itulah aku pura-pura mulai tersadar lalu membuka kedua mataku.
“Aaahh… Paak… Ja-jangan!! Jaaangaa… Mmmmmhhh…!!!” kataku terputus karena tiba-tiba mulutku dibekap oleh seseorang yang tadi ada di belakangku.
Aku pura-pura meronta agar tidak terlihat seperti aku yang menginginkannya. Rupanya Pak Diman dan Pak Jono yang memainkan kedua buah payudaraku, sedangkan Pak Bara asyik menikmati vaginaku dengan lidahnya.
“Pantes aja ada rasa gelinya…” pikirku dalam hati karena kumis Pak Bara terus menggesek-gesek bibir luar vaginaku sehingga menimbulkan sensasi yang berbeda.
Akhirnya aku benar-benar larut dalam kenikmatan yang sedang melanda diriku. Pak Diman dan Pak Jono mulai membuka kaosku sehingga kini aku sudah dalam keadaan telanjang bulat.
“Waaaah teteknya Dik Tita mulus bangeeet!!” komentar Pak Diman yang tepat berada di depan payudara kananku.
“Bener Man! Udah pahanya mulus, teteknya putih lagi…” tambah Pak Jono ikut mengomentari payudaraku yang putih mulus terpampang dengan jelas di depan matanya.
“Kalo Bapak lepasin Dik Tita janji nggak bakal teriak yah…” kata Pak Wawan yang hanya aku jawab dengan anggukan.
Karena yakin sudah menguasaiku, Pak Wawan melepaskan bekapannya pada mulutku sehingga aku merasa sangat lega.
“Aaaaaaaaaaaah….” aku mendesah akibat sentuhan mereka.
Melihat diriku yang sudah pasrah tak berdaya, Pak Diman dan Pak Jono bersorak gembira. Mereka mengerubuti dan mulai menggerayangi tubuhku. Pak Diman dan Pak Jono meremas-remas kedua payudaraku dengan brutal sehingga membuat tubuhku merasa panas dingin. Tidak cukup puas hanya meremas-remas buah dadaku saja, Pak Diman kemudian menghisap payudaraku yang sebelah kanan, sedangkan Pak Jono mengenyot payudara bagian kiriku.
“Teteknya Dik Tita emang manteb banget dah!!” ujar Pak Diman.
Kelihatannya Pak Bara sama sekali tidak tertarik dengan apa yang dilakukan oleh teman-temannya terhadap tubuhku. Dia masih terlihat menikmati bibir luar hingga rongga dalam vaginaku lalu melakukan jilatan-jilatan dan menyedotnya. Tubuhku menggelinjang merasakan birahi yang memuncak karena merasa geli sekaligus nikmat di bawah sana.
“Memeknya Dik Tita wangi deh!! Beda banget sama bini saya…” kata Pak Bara di sela-sela menikmati vaginaku.
“Oooooooh… Aaaaaaahhh… Enaaaaakkk…” aku mengerang-erang keenakan.
Sekarang Pak Diman, Pak Jono dan Pak Bara sudah mendapat jatah mereka masing-masing. Pak Wawan sepertinya juga tidak mau ketinggalan, dia mulai mencium dan menjilati leher mulusku semakin yang menggiurkan karena basah oleh keringat. Setelah Pak Wawan puas bermain di bagian leherku, dia menarik kepalaku dengan perlahan ke arah belakang sehingga kepalaku agak mendongak ke atas. Dengan penuh nafsu Pak Wawan langsung mencumbu serta melumat bibirku, lalu dia menyelipkan lidahnya masuk ke dalam mulutku hingga aku gelagapan. Walaupun bau nafas Pak Wawan sungguh tidak enak, tetapi yang bisa kulakukan hanyalah membuka mulutku dan membiarkan Pak Wawan memainkan lidahnya di dalam mulutku.
“Eeeeeemmmmmhhh…. Eeeeehhhmmm…” erangku ketika mulai dikeroyok mereka berempat.
Kini, tubuhku sudah seperti boneka bagi mereka, karena mereka bisa berbuat sesuka hati terhadap tubuhku. Mereka menikmati jatah mereka dengan penuh nafsu. Pak Diman dan Pak Jono terus menjilati kedua buah payudaraku serta menggigit kecil kedua putingku putingku yang sudah menegang itu. Pak Wawan terus menerus memainkan lidahnya di dalam mulutku, dan aku juga membalasnya dengan memainkan lidahku sehingga lidah kami saling membelit. Aku dapat merasakan kalau ludah kami berdua menetes-netes di sekitar bibir karena kami berciuman sangat lama.
Dikerubuti dan dirangsang sedemikan rupa membuat aku merasakan gejolak yang luar biasa melanda tubuhku tanpa bisa kukendalikan.
“Ooooh… Aaaaaaah… Nngggg… Aaaaagh…” aku mengerang dan menjerit keenakan.
Pak Bara kini semakin membenamkan kepalanya di antara kedua pahaku, dan karena agak geli akupun merapatkan kedua pahaku sehingga kepala Pak Bara terhimpit oleh kedua paha mulusku.
“Enak ya Dik Tita… Sluuuurrpp… dijilatin Bapak? Eehmmm… Sluuurrp…” tanya Pak Bara tanpa menghentikan jilatan dan hisapannya pada vaginaku terlebih dahulu.
“Eeeeenak bangeeeet Paaak…!!” aku terus mendesah nikmat.
Terus-terusan menerima serangan birahi secara bersamaan dari 4 orang pria yang berbeda pada daerah sensitifku, aku jadi tidak kuat menahan lama-lama sehingga dalam waktu kurang dari 10 menit tubuhku sudah seperti tersengat arus listrik yang menandakan kalau sebentar lagi aku akan mencapai orgasme.
“Paaak Baraaa… Saayaaaa mauuu keluaaaarr!! Aaaaaaaaaaaah….!!!” aku berteriak dengan kencang.
Tidak lama kemudian cairan orgasmeku mengalir keluar dari vaginaku. Pak Bara yang berada tepat di depan lubang vaginaku semakin liar menjilati vaginaku yang sudah sangat basah oleh cairanku tadi.
‘Slurrpp… Sluurrrpp…’ cairanku yang mengalir dengan deras dilahap oleh Pak Bara dengan rakus.
“Wih!! Cairan memeknya Dik Tita manis dan gurih banget!!” komentar Pak Bara.
Setelah cairanku sudah hampir habis, ke 3 bapak yang tadi masih sibuk dengan bagiannya masing-masing langsung menghentikan aktivitas mereka, kemudian mendekat ke arah vaginaku.
“Mmmmmmhhhh…” desahku menerima jilatan demi jilatan pada sisa-sisa cairan orgasmeku yang masih ada di sekitar bibir vaginaku hingga mereka semua kebagian.
“Sekarang Bapak-Bapak mau masukin penisnya ke dalam sini nggak?” aku bertanya sambil menunjuk vaginaku.
“Mau banget dong Dik!!” jawab Pak Jono semangat.
“Beneran nih nggak apa-apa kalo kita entotin Dik Tita rame-rame?” tanya Pak Bara dengan wajah tidak percaya.
“Beneran kok Pak! Masa saya bercanda sih…” jawabku serius.
“Wah Bapak-Bapak!! Yang punya udah ngebolehin tuh!!” kata Pak Jono dengan wajah senang sekaligus keheranan mendengar jawabanku barusan.
Tentu saja mereka semua tidak menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Mereka semua langsung membuka baju dengan terburu-buru. Mereka pasti sudah sangat tidak sabar ingin merasakan kehangatan tubuhku yang sudah kupasrahkan untuk mereka berempat. Untuk lebih merangsang mereka, kubuka ikat rambutku sehingga rambutku kini terurai sampai menyentuh bahu. Sekarang ke 4 Bapak-Bapak ini sudah dalam keadaan telanjang bulat dengan penis mengacung tegak menghadap seorang gadis yang sepantasnya menjadi anak mereka.
“Gede-gede banget!!” kataku dalam hati.
Tentu saja aku kaget dengan ukuran penis milik Bapak-Bapak ini yang berukuran sekitar 17-18 cm dengan diameter yang sangat besar. Mungkin juga karena selama ini aku baru melihat penis yang ukurannya hanya mencapai 15 cm saja. Aku juga masih sempat memperhatikan, betapa kulit ke 4 Bapak ini hitam dan kasar bila dibandingkan dengan kulitku yang putih mulus.
“Dik Tita pasti bakal keenakan dientot sama kita-kita…” kata Pak Diman kepadaku.
Tadinya aku sempat merasa ngeri memikirkan Bapak-Bapak yang memiliki tubuh besar ini akan menjarah habis tubuh mungilku. Namun ternyata membayangkan semua itu malah membuat aku terangsang hebat dan gairahku naik tak terkendali. Aku tanpa sadar menanti dan berharap mereka akan memberikanku kenikmatan melebihi yang baru saja melandaku.
“Siapa yang bakal duluan ngentotin Dik Tita?” tanya Pak Jono kepada teman-temannya.
“Gue dulu deh!! Napsu gue udah di ubun-ubun nih!!” teriak Pak Wawan yang nampaknya sudah sangat tidak sabaran lagi untuk bisa menyetubuhiku.
“Enak aja! Gue dulu dong!! Gue udah lama banget pengen ngentotin Dik Tita!!” teriak Pak Diman tidak mau kalah.
Seperti kumpulan anak kecil yang sedang berebut mainan, mereka semua tidak mau kalah ingin menjadi yang pertama kali mencobloskan penis mereka ke dalam vaginaku yang masih sangat sempit walaupun sudah tidak perawan lagi.
“Udah dong Bapak-Bapak jangan pada rebutan gitu!!” kataku dengan nada kesal.
“Ja-jangan marah dong Dik Tita. Iya deh kami semua nggak bakal berebut lagi…” jawab Pak Wawan.
“Ya udah. Biar adil gimana kalau saya aja yang milih?” tanyaku.
“Boleh juga idenya Dik Tita tuh!” kata Pak Jono.
Aku melihat ke arah penis mereka berempat dan aku menemukan kalau penis Pak Bara adalah yang paling besar di antara yang lain, hitam serta dipenuhi urat-urat menonjol. Maka aku memilih penis Pak Bara untuk mengisi liang vaginaku, lalu aku memilih penis milik Pak Wawan yang tidak kalah besar untuk aku hisap.
“Ayo ke sini Dik Tita…” ajak Pak Bara yang sudah terlentang di atas tikar.
Tanpa perlu disuruh lagi, aku mendekati Pak Bara yang sudah kelihatan bernafsu sekali melihat kemulusan tubuhku yang terlihat seksi karena penuh dengan keringat, tidak hanya karena udara di dalam yang memang gerah, namun juga karena perlakuan mereka terhadapku tadi. Kemudian aku naik ke atas tubuh Pak Bara lalu membimbing penisnya untuk masuk ke dalam vaginaku.
“Saya masukin penis Bapak pelan-pelan dulu ya…” aku berkata kepada Pak Bara.
Pak Bara hanya menganguk sambil tersenyum memandangi diriku. Karena ini adalah pertama kalinya vaginaku dimasuki oleh penis berukuran besar, maka penis Pak Bara hanya dapat masuk sebagian saja. Walaupun baru menancap setengahnya, batang penis Pak Bara itu membuat liang vaginaku terasa begitu sesaknya. Urat-urat pada batang penis itu berdenyut denyut menambah sensasi yang kurasakan.
“Aaaaaaah… Memeknya sempit banget!! Untung banget gue bisa ngentot sama Dik Tita!! Eemmhh… Ooohh…” komentar Pak Bara.
“Oooooohhh… Aaaaaahhhh… Enaaaakkk bangeeeet Paaak…” erangku karena tidak kuat merasakan sensasi luar biasa yang ditimbulkan dari tusukan penis Pak Bara pada vaginaku.
Pak Bara membiarkanku agar terbiasa dengan ukuran penisnya. Namun tetap saja penisnya belum dapat masuk semuanya ke dalam vaginaku. Untungnya vaginaku tidak terasa perih sehingga aku dapat menikmatinya. Di saat yang bersamaan Pak Bara juga menjilati payudaraku dan menggesek-gesekkan kumisnya ke putingku yang membuat birahiku semakin memuncak.
“Aaaaaaaaaahhhh…” aku semakin mendesah menerima sodokan penis sekaligus jilatan pada payudaraku.
Di tengah-tengah persetubuhanku dengan Pak Bara, aku masih sempat melihat Pak Jono dan Pak Diman sedang mengocok penis mereka sendiri. Sepertinya mereka berdua sudah sangat terangsang melihat pemandangan menggiurkan di depan mereka sekaligus tidak sabar ingin mencicipi tubuhku.
“Sepongin penis Bapak dong Dik. Daripada mulutnya nganggur…” tiba-tiba Pak Wawan berdiri di hadapanku dengan senyum yang memuakkan sambil mengarahkan penisnya ke arah wajahku.
Dengan tidak sabaran, Pak Wawan menjejali mulutku dengan penisnya, penis itu ditekan-tekankan ke dalam mulutku hingga wajahku hampir terbenam pada bulu-bulu kemaluannya. Aku cukup bisa menikmati menghisap penisnya, walaupun baunya sungguh tidak enak. Kedua buah zakarnya juga aku pijati dengan tanganku.
“Gilaaaa!! Maanteebb banget sepongan Dik Titaaa!!!” ceracau Pak Wawan.
Aku pun menelan penis Pak Wawan hingga menyentuh daging lunak di tenggorokanku. Pemiliknya semakin mendesah tidak karuan menikmati service mulutku. Setelah beberapa menit kumainkan di dalam mulutku, penis Pak Wawan mulai berkedut-kedut, lalu tidak lama kemudian Pak Wawan akhirnya ejakulasi di mulutku.
“Aaaaaaaaaaagh… Oooooooooh…” Pak Wawan melenguh panjang dan meremas-remas rambutku saat aku menelan semua spermanya tanpa ingin menyisakan sedikitpun.
“Eeeeemmmm…” aku menikmati sperma milik Pak Wawan yang keluar sangat banyak .
“Dik Tita cakep-cakep doyan minum peju!! Hahaha…” komentar Pak Jono sambil tertawa melihatku dengan rakus membersihkan penis Pak Wawan dengan mulutku.
“Kirain Dik Tita cewek alim! Taunya liar juga yah…!!” Pak Diman juga ikut berkomentar.
Aku benar-benar larut di dalam pesta seks ini dan sudah tidak peduli lagi bahwa di mata mereka aku sudah berubah dari gadis yang alim menjadi seorang pelacur murahan.
“Sepongan Dik Tita emang hebaaat bangeeet!!” komentar Pak Wawan yang sedang menunggu penisnya menyemburkan sperma ke dalam mulutku hingga tetes terakhir.
Tergiur dengan apa yang aku lakukan terhadap penis Pak Wawan, tak lama kemudian Pak Jono dan Pak Diman langsung mendekat dan berjalan ke depanku lalu mereka menyodorkan penis mereka masing-masing ke arah wajahku. Tanpa ragu lagi, aku mengocok penis Pak Jono dan mengulum penis Pak Diman secara bersamaan.
“Aaaaaaaahhh… Terrruusss Dik Titaaaaaa!!” desah Pak Diman ketika aku mengemut kepala penisnya serta menyentil-nyentilkan lidahku ke lubang kencingnya.
Sekarang aku bergantian memaju-mundurkan batang kejantanan Pak Diman dengan tanganku secara perlahan, sementara mulutku menghisap penis Pak Jono.
“Aduuuh… E-enak banget Dik!! Aaaaaaah…” kata Pak Jono dengan bergetar.
Mungkin karena aku sudah lama tidak menerima serangan sekaligus seperti ini, aku pun cepat mencapai orgasme hanya dalam waktu kurang dari 10 menit.
“Ooooooooohh… Aaaaaaggggh…” sambil melepas sebentar hisapanku pada penis Pak Jono aku pun mengerang panjang karena tidak tahan dengan nikmat yang mendera.
Karena vaginaku sudah licin oleh cairan orgasme, maka penis Pak Bara dapat amblas sepenuhnya. Aliran cairan vaginaku tertahan oleh penis Pak Bara yang sedang keluar masuk vaginaku sehingga berbunyi setiap kali Pak Bara memasukkan penisnya ke dalam vaginaku.
Penis itu terasa seperti sedang menyodok bagian terdalam dari vaginaku, mungkin itu rahimku. Aku hanya bisa mengerang tanpa berani menggeliat, walaupun aku merasakan sakit yang bercampur nikmat.
“Oooh sempit bangeeet Dik!! Enaknyaaa… Aaaaaaah…” Pak Bara mulai meracau sambil terus memompa penisnya.
Untung saja aku masih bisa mengimbangi kekuatan Pak Bara walaupun sudah mengalami 2 kali orgasme. Sementara itu, Pak Diman dan Pak Jono menarik penis mereka dari mulutku karena mereka tidak ingin keluar cepat-cepat.
“Mmmmhhhh… Aaaaaaaaahhhh…!!!” aku mengeluarkan desahan yang sempat tertahan karena tadi mulutku penuh dengan penis.
Akhirnya 5 menit setelah aku mencapai orgasmeku yang kedua tadi, aku merasakan penis Pak Bara yang sedang mengisi vaginaku mulai berdenyut-denyut menandakan kalau Pak Bara akan mencapai orgasme. Pak Bara mempercepat sodokan penisnya terhadap vaginaku yang membuatku merasa sedikit perih karena penis besarnya itu keluar masuk dengan cepat dan kuat padahal lubang vaginaku masih sangat sempit. Namun setelah terbiasa akhirnya aku menemukan rasa nikmat dibalik rasa perih itu.
“Aaaaahhhh… Dik Titaaaaa!! Bapaaakkk… Keluuaarrrr!!!” teriak Pak Bara.
“Keluariiiin di dalem aja Pak…!! Aaaaaaaaah…” pintaku dengan lirih.
Dan tak lama kemudian, Pak Bara sudah menyemburkan spermanya yang hangat ke dalam rahimku, lalu nafas Pak Bara tersengal-sengal sehingga dia memutuskan untuk menghisap-hisap payudaraku dengan mulutnya sambil menunggu penisnya memuntahkan semua isinya ke dalam vaginaku.
Baru sekitar 2 menit aku mengatur nafas dan tenagaku untuk menghadapi Pak Diman dan Pak Jono, ternyata Pak Bara mau aku bersimpuh di hadapannya lalu bertumpu dengan kedua lututku. Aku yang sudah mengerti maksud Pak Bara, langsung mengambil penisnya yang masih berlumuran sperma dan juga cairan vaginaku, kemudian membersihkan penis Pak Bara hingga spermanya tak bersisa lagi.
“Pak, saya udah bersihin penis Bapak sampe nggak ada sisanya nih. Sekarang saya main sama Pak Jono dan Pak Diman dulu ya…” kataku kepada Pak Bara.
“Makasih ya Dik Tita. Ya udah Bapak juga mau istirahat dulu…” jawab Pak Bara.
“Heh Pak Bara!! Kalo mau ngobrol entar aja!! Gue udah kebelet pengen ngentot Dik Tita nih!!” teriak Pak Jono.
“Ya udah. Sekarang gantian elo yang ngentot sana! Gue juga mau istirahat dulu…” kata Pak Bara cuek sambil memakai kembali celana dan bajunya.
“Sekarang Dik Tita ambil posisi tiduran…” perintah Pak Jono.
Kali ini giliran aku yang mengambil posisi terlentang di atas tikar. Aku menekuk kedua kakiku lalu melebarkannya bersiap disetubuhi oleh Pak Jono dan Pak Diman. Kedua Bapak itu pun memandangi vaginaku yang masih rapat dan tanpa bulu itu dengan wajah penuh birahi.
Mungkin karena sebelumnya sudah ada kesepakatan antara Pak Diman dengan Pak Jono, maka Pak Diman-lah yang mengambil giliran selanjutnya untuk menyetubuhiku. Tanpa basa-basi lagi, Pak Diman segera menyergap dan menindih tubuh mungilku. Dengan penuh nafsu Pak Diman menjejalkan penisnya yang amat besar itu ke dalam vaginaku. Aku terbeliak, merasakan kembali sesaknya vaginaku.
Karena vaginaku sudah banjir dengan cairanku serta sperma Pak Bara, maka penis milik Pak Diman yang berukuran besar dapat dengan mudah masuk ke dalam vaginaku. Kini vaginaku sudah dimasuki oleh penis yang berukuran besar untuk kedua kalinya. Namun aku sungguh menikmatinya dengan penuh penghayatan sampai-sampai dengan tidak sadar, aku menutup mataku.
“Oooh… Memeknya Dik Tita enaaak bangeeet!! Kontol gue kayak diurut-urut!!” erang Pak Diman.
Penis itu terasa seperti sedang menyodok bagian terdalam dari vaginaku, mungkin itu rahimku. Aku hanya bisa mengerang tanpa berani menggeliat, walaupun aku merasakan sakit yang bercampur nikmat. Tanpa sadar, kakiku melingkari pinggang Pak Diman, seakan tak ingin penisnya terlepas.
“Aaaaaahhh… Oooooohh… Mmmmhhhhhhhh…” desahku karena tidak bisa menahan rasa nikmat yang menyerangku.
Karena tidak sabar menunggu, Pak Jono mulai menaruh penisnya di depan mulutku yang masih belepotan sperma dari Pak Wawan dan juga Pak Bara. Tanpa malu-malu lagi aku memegang penis yang sudah sangat tegang itu dan segera membenamkannya ke dalam mulutku. Kemudian aku mulai mengulum penis Pak Jono yang hanya masuk sebagian hingga pipiku terlihat cekung ke dalam.
Aku sempat melirik ke arah Pak Wawan dan Pak Bara sudah duduk memakai celana panjang mereka sambil menghisap rokok dan meminum kopi dengan tontonan mereka yang lebih seru dari Piala Dunia, yaitu aku yang sedang dikerubuti oleh dua orang lelaki berkulit hitam alias Pak Diman dan Pak Jono.
Baru beberapa menit aku melakukan oral seks Pak Jono sudah berteriak “Dik Titaaa!! Bapaaak keluaaaar… Oooooh… Enaaak…”
‘Croot… Crooot… Croooot’ semburan hangat sperma Pak Jono pun keluar di dalam mulutku hingga membasahi kerongkongan. Seperti sudah ketagihan, aku terus melahap, menjilati dan mengulum penis itu hingga bersih dari sisa-sisa sperma yang masih menetes.
“Lho kok Pak Jono udah keluar aja? Masa kalah sama sepongannya Dik Tita? Gimana kalo sama memeknya yang seret Pak…” kata Pak Bara dengan nada sedikit mengejek disambung tawa Pak Wawan yang duduk di sebelahnya.
Pak Jono hanya tersenyum malu tanpa berkata apa-apa. Sementara itu Pak Diman masih terus menggerakkan penisnya ke dalam vaginaku dengan sangat perlahan dan mencabutnya dengan cepat. Saat itu yang terdengar hanyalah suara pompaan penis serta suara desahan nafasku dan Pak Diman yang saling memburu. Sodokan demi sodokan Pak Diman benar-benar luar biasa, seolah memompa gairahku menuju orgasme.
“Aaaaaaaaaaaaahh… Sayaa keluaaarr Paaaak!!” aku sudah tidak tahan lagi sehingga aku melepaskan orgasmeku yang ketiga.
“Sa-sayaaa juga keluaaaar Dik…!!” erang Pak Diman ketika memuntahkan lahar putihnya ke dalam vaginaku bersamaan dengan orgasmeku yang kutahan-tahan dari tadi.
Vaginaku kini terasa hangat oleh semburan sperma milik Pak Diman yang bercampur dengan cairanku. Kini daerah sekitar vaginaku yang sudah basah semakin banjir saja oleh sperma, sampai-sampai cairan itu meleleh di kedua pahaku.
“Eeeeemmhhhh…” nafasku tersengal-sengal.
Begitu juga dengan Pak Diman dan Pak Jono yang sudah menuntaskan nafsu setan mereka kepadaku. Sambil mengatur nafas, Pak Jono menciumi tengkuk leherku dengan lembut sedangkan Pak Diman yang tadinya ingin melumat bibirku, namun aku menolaknya karena aku mau mengatur nafasku dulu, mulai menjilati leherku yang penuh dengan butiran keringat.
Setelah nafas kami bertiga sudah normal kembali, mereka berdua berjalan untuk mengambil pakaiannya masing-masing. Sedangkan aku berdiri dan bersiap memakai baju serta celana pendekku yang berserakan di depan TV yang sudah tidak menayangkan acara bola lagi.
“Udah dulu yah Bapak-Bapak. Saya mau pulang dulu…” aku pamit kepada mereka semua yang masih terlihat kelelahan.
“Jangan pulang dulu dong Dik Tita!” Pak Bara melarangku pergi sambil memegang tanganku.
“Emangnya Bapak-Bapak masih belum puas?” tanyaku.
“Iya!!” jawab mereka hampir bersamaan.
“Tapi kan Bapak-Bapak udah pada lemes kayak gitu. Lagian saya udah capek banget nih…” kataku.
“Bentaran juga udah kuat lagi kok Dik…” kata Pak Wawan yang sepertinya masih belum cukup puas karena dia memang belum merasakan bersetubuh denganku.
“Aduh gimana ya? Udah malem banget nih Pak…” aku berusaha mencari alasan untuk menolak permintaan mereka.
“Ayo dong! Dik Tita mau kan?” pinta Pak Wawan memelas.
“Bapak kan juga belom ngerasain ngentot sama Dik Tita…” sambung pak Jono lagi.
“Iya Dik! Kan dingin kalau kita cuma berempat. Kalo ada Dik Tita kan bisa bikin kita-kita anget…” tambah Pak Diman.
“Ya udah boleh deh. Asal Bapak-Bapak janji nggak akan cerita hal ini sama orang lain ya. Biar jadi rahasia kita berlima aja. Gimana?” tanyaku.
“Yah kalo itu mah nggak usah disuruh Dik! Masak Bapak mau bilang-bilang sih…” jawab Pak Wawan menyanggupi.
Karena terlanjur menyanggupi permintaan mereka, aku yang baru mengenakan celana dalamku mulai melepaskannya lagi, hingga kini tubuhku sudah dalam keadaan bugil. Penis milik Pak Wawan, Pak Diman, Pak Bara dan Pak Jono yang tadinya sudah dalam keadaan lemas mulai mengeras lagi karena melihat tubuh putih mulusku yang tidak tertutup sama sekali.
Kemudian aku mulai memanggil mereka satu per satu dan membiarkan vaginaku menjadi bulan-bulanan lidah mereka. Bahkan ketika masing-masing sudah mendapatkan jatah untuk mencicipi vaginaku, mereka berempat kembali menjilati seluruh tubuhku sehingga berlumuran air liur mereka.
“Mulai lagi yuk Dik Tita…” pinta Pak Wawan tidak sabaran.
“Silakan Bapak-Bapak nikmatin tubuh saya sepuasnya…” kataku mengijinkan.
Lalu dimulailah pelampiasan nafsu bejat 4 orang pria tua terhadapku. Kali ini aku disetubuhi oleh 4 Bapak-Bapak itu secara bergiliran. Mulai dari Pak Wawan, Pak Jono lalu Pak Diman dan yang terakhir oleh Pak Bara. Mereka juga menikmati tubuhku dengan berbagai posisi.
Karena mereka sangat menikmati himpitan vagina serta teknik oral seks-ku, maka mulai dari vagina, mulut bahkan seluruh tubuhku terus-menerus disemprot sperma oleh mereka berempat. Aku juga sudah tidak bisa menghitung lagi berapa kali aku mengalami orgasme. Setelah sudah benar-benar kelelahan, kami yang masih dalam keadaan bugil beristirahat sembari minum dan mengobrol.
“Dik, kan dari tadi peju kami semua dikeluarin di dalem. Apa Dik Tita nggak takut hamil?” tanya Pak Bara yang paling banyak menyemprotkan spermanya ke dalam vaginaku di tengah obrolan kami.
“Emang Bapak-Bapak nggak mau tanggung jawab kalau nanti saya hamil?” tanyaku memasang wajah serius.
Seketika muka mereka langsung terlihat pucat mendengar pertanyaanku barusan.
“Hahaha… Tenang aja Bapak-Bapak. Saya lagi nggak subur kok sekarang…” kataku sambil tertawa melihat wajah ketakutan mereka semua.
Mereka semua pun ikut tertawa lega setelah sadar kalau yang kutanyakan tadi hanya sekedar gurauan saja.
“Bapak-Bapak, saya pamit pulang yah. Udah malam banget nih…” ujarku seraya melihat jam di HP-ku yang sudah menunjukkan pukul 12 malam.
“Tapi kapan-kapan Dik Tita mau nemenin kami lagi kan?” tanya Pak Diman.
“Boleh aja Pak. Asalkan yang lagi jaga Bapak-Bapak berempat…” jawabku sambil memakai pakaianku.
“Gampang! Itu mah bisa Bapak atur!” jawab Pak Bara yang memang bertugas mengatur jadwal jaga.
“Tapi jangan keseringan ya Pak! Lama-lama saya bisa hamil dong…” candaku.
“Pokoknya beres deh Dik!” jawab Pak Wawan.
“Ya udah saya pulang dulu ya Bapak-Bapak…” kataku sambil bergegas keluar pos jaga karena takut mereka ingin menikmati tubuhku lagi.
“Hati-hati ya Dik…” kata mereka serempak.
Aku pun langsung berlari kecil menuju rumah karena suasana di sekitar rumahku sudah sangat sepi dan gelap. Di perjalanan pulang aku sempat mengingat kejadian yang baru aku alami adalah pengalaman yang sungguh memuaskan. Pada dasarnya aku memang sangat menikmati seks keroyokan seperti tadi, apalagi ditambah yang menyetubuhiku adalah Bapak-Bapak yang sudah sangat berpengalaman.
Setibanya di rumah aku melihat lampu sudah gelap dan tidak terdengar lagi suara TV menyala.
“Sepertinya semuanya udah pada tidur…” aku memaklumi karena sekarang sudah lewat tengah malam.
Setelah mengunci pintu gerbang dan pintu depan, aku langsung menuju ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang bermandikan sperma. Setelah selesai berganti pakaian, aku merebahkan tubuhku yang sangat lelah setelah hampir 2 jam dinikmati oleh Bapak-Bapak tadi. Untunglah besok hari Sabtu, sehingga aku bisa istirahat seharian penuh. Tak butuh waktu lama aku pun tertidur dengan pulas.